Oleh: Heri Akhmadi, M.A.
Terdapat suatu kisah yang inspiratif yang dinukil dari Kitab Manaqib Imam Ahmad bin Hambal, salah satu Imam Madzhab yang mempunyai nama asli Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Abu ‘Abd Allah al-Shaybani. Beliau juga merupakan murid dari Imam Syafi’i, Imam fikih terkenal dari kalangan madzhab Syafi’iyah.
Dikisahkan oleh Imam Ahmad:
Suatu ketika saya mempunyai keinginan kuat untuk safar (bepergian) ke suatu kota (Basrah, Irak) untuk suatu hal yang saya tidak ada keinginan atau rencana. Hanya ada perasaan harus ke sana.
Sebagaimana diketahui, Imam Ahmad tinggal di Baghdad, Irak. Jarak antara Baghdad ke Basrah sekitar 532 km. Tentu perlu suatu alasan khusus untuk menempuh perjalanan yang cukup jauh, yang pada waktu itu mungkin harus ditempuh dalam beberapa hari. Namun demikian karena keinginan itu begitu kuat, akhirnya Imam Ahmad pun menempuh perjalanan tersebut.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, sampailah Imam Ahmad di Kota Basrah. Dan seperti umumnya orang bepergian, setelah sampai disana dicarilah masjid. Selain sebagai tempat sholat juga tempat istirahat. Kebetulah juga tiba di sana waktu isya.
Begitu selesai shalat dan jamaah pulang, Imam Ahmad bermaksud untuk tidur di masjid, tiba-tiba marbot masjid datang menemui Imam Ahmad sambil bertanya, “Anda mau ngapain disini ya Syaikh.” Istilah atau panggilan “syaikh” di Arab biasa dipakai untuk 3 panggilan, yaitu panggilan untuk orang tua, orang kaya ataupun orang yang berilmu. Panggilan Syaikh dikisah ini panggilan sebagai orang tua, karena marbot taunya sebagai orang tua, dan dia belum tahu kalau beliau Imam Ahmad. Dan Imam Ahmad pun tidak memperkenalkan siapa dirinya.
Di Irak, semua orang kenal siapa imam Ahmad, seorang ulama besar dan ahli hadits, sejuta hadits dihafalnya, sangat shalih dan zuhud. Zaman itu tidak ada foto sehingga orang tidak tau wajahnya, hanya saja namanya sudah terkenal.
Lalu Imam Ahmad menjawab “saya ingin istirahat, saya musafir.” Namun marbot tidak mengizinkan dengan mengatakan, “tidak boleh, aturan disini tidak boleh tidur di masjid !“. (seperti biasanya masjid di Indonesia, dilarang tidur di masjid).
Imam Ahmad melanjutkan ceritanya dan mengatakan “saya didorong-dorong oleh marbot masjid itu itu disuruh keluar dari masjid, Setelah keluar masjid, dikunci pintu masjid. Lalu saya pun hendak tidur di teras masjid“. Namun ketika sudah berbaring di teras masjid, Marbotnya datang lagi, marah-marah kepada Imam Ahmad. “Mau ngapain lagi syaikh?” Kata marbot. “Mau tidur, saya musafir” kata imam Ahmad. Lalu marbot berkata, “di dalam masjid gak boleh, di teras masjid juga gak boleh.” Imam Ahmad diusir. Imam Ahmad bercerita, “saya didorong-dorong sampai jalanan”.
Diketahui bahwa di samping masjid ada rumah penjual roti (rumah ukuran kecil untuk membuat dan menjual roti). Penjual roti ini sedang membuat adonan, dan rupanya memperhatikan peristiwa Imam Ahmad didorong-dorong oleh marbot tadi. Ketika imam Ahmad sampai di jalanan, penjual roti itu memanggil dari jauh, “Kemari ya syaikh, anda boleh nginap ditempat saya, saya punya tempat, meskipun kecil”. Lalu Imam Ahmad pun masuk ke rumahnya, duduk dibelakang penjual roti yang sedang membuat roti (dengan tetap tidak memperkenalkan siapa dirinya, hanya bilang sebagai musafir).
Penjual roti ini punya perilaku khas, kalau imam Ahmad ngajak bicara dijawabnya. Kalau tidak, dia terus membuat adonan roti sambil melafalkan istighfar, “Astaghfirullah“. Saat memberi garam, astaghfirullah, menecah telur astaghfirullah, mencampur gandum astaghfirullah. Dia senantiasa mendawamkan istighfar. Sebuah kebiasaan mulia. Imam Ahmad memperhatikan terus.
Melihat kebiasaan yang jarang ini, Imam Ahmad bertanya “sudah berapa lama kamu lakukan ini?” Orang itu menjawab, “sudah lama sekali syaikh, saya menjual roti sudah 30 tahun, jadi semenjak itu saya lakukan“. Wow…sudah lama rupanya dia istiqomah melakukan amal ini. Lalu Imam Ahmad bertanya “apa hasil dari perbuatanmu ini?”. Orang itu menjawab “(lantaran wasilah istighfar) tidak ada hajat yang saya minta, kecuali pasti dikabulkan Allah. Semua yang saya minta pada Allah…langsung diwujudkan.” Lalu orang itu melanjutkan “semua dikabulkan Allah kecuali satu, masih satu yang belum Allah beri.”
Imam Ahmad penasaran lantas bertanya “apa itu?” Kata orang itu “saya minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan Imam Ahmad”. Seketika itu juga imam Ahmad bertakbir “Allahu Akbar..! Allah telah mendatangkan saya jauh dari Bagdad pergi ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid itu sampai ke jalanan, ternyata karena istighfarmu.. ”
Penjual roti itu terperanjat, memuji Allah, ternyata yang didepannya adalah Imam Ahmad…Ia pun langsung memeluk dan mencium tangan Imam Ahmad….Subhanallaah
Kisah dari Imam Ahmad bin Hambal tadi menggambarkan tentang kedahsyatan istighfar sehingga membuat Allah SWT enggan untuk menolak doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Seorang Imam besar pun akhirnya berkelana ke pelosok negeri, Allah tuntun langkahnya agar sampai di negeri si tukang roti. Kemudian, Allah membuat suatu keadaan hingga keduanya dipertemukan. Tak ada yang mustahil bagi Allah jika Dia berkehendak.
Istighfar Rasulullaah
Kisah Imam Ahmad tadi juga sejalan dengan sabda Rasulullah S.A.W:

Hadist Fadhilah Istighfar pict by @tadabburdaily
“Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan baginya pada setiap kesedihannya jalan keluar dan pada setiap kesempitan ada kelapangan dan Allah akan memberinya rezeki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Hadist di atas menunjukkan setidaknya 3 faidah dari memperbanyak istighfar, yaitu:
- Jalan keluar dari kesedihan
- Kelapangan dari kesempitan
- Rezeki yang tidak disangka-sangka
Jadi, istighfar merupakan solusi dari setiap masalah dan kunci untuk mendapatkan rezeki. Mengenai rezeki yang tidak disangka-sangka, bebarapa ulama juga menyampaikan bahwa yang dimaksud tidak cuma rejeki dadakan tetapi rejeki yang barokah.
Kebiasaan untuk memperbanyak istighfar juga dilakukan oleh Rasulullaah, sebagaimana disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهِ إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Demi Allah, aku sungguh beristighfar pada Allah dan bertaubat pada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari no. 6307).
Di hadist lainnya sebagaimana diriwayatkan oleh Al Aghorr Al Muzanni, yang merupakan sahabat Nabi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِى وَإِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِى الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Ketika hatiku malas, aku beristighfar pada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702).
Istighfar Nabi Nuh
Pelajaran lain tentang hikmah dari istighfar juga bisa kita lihat dari kisah kaum Nabi Nuh AS. Bahwa ketika kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak mau menaati ajakan beliau untuk beriman kepada Allah mereka diberi azab oleh Allah berupa kekeringan dan mandulnya kaum perempuan selama empat puluh tahun. Hal itu menjadikan hancurnya ternak dan tanaman mereka. Setelah keadaan ini berlangsung lama mereka mendatangi Nabi Nuh untuk meminta pertolongan.
Oleh Nabi Nuh mereka diminta untuk beristighfar, meminta ampun dari dosa kekufuran dan kemusyrikan, kepada Allah. Bila mereka mau beristighfar, Nabi Nuh menjanjikan bahwa Allah akan menurunkan hujan yang deras dari langit, memberi limpahan harta dan keturunan, serta menjadikan kebun-kebun dan sungai-sungai yang dpat menghidupi mereka.
Hal itulah yang dijelaskan oleh para ahli ketika mereka menafsirkan ayat 10–12 dari Surat Nuh.
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا. وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
“Maka aku (Nabi Nuh) katakan, ‘minta ampunlah kalian kepada Tuhan kalian, sesungguhnya Ia maha pengampun. Maka Dia akan menurunkan hujan yang deras dari langit kepada kalian. Dan Ia akan menganugerahkan kepada kalian harta dan anak-anak, serta menjadikan bagi kalian kebun-kebun dan sungai-sungai.”
Atas dasar ayat ini para ulama menyimpulkan bahwa istighfar merupakan sebab terbesar diturunkannya hujan dan diperolehnya berbagai macam rezeki serta bertambah dan berkembangnya keberkahan.
Kisah lainnya tentang istighfar berasal dari kalangan tabiin. Dikisahkan juga bahwa suatu ketika ada orang yang mengadu kepada Imam Hasan al-Bashri perihal kegersangan yang melanda daerahnya. Orang yang lain mengadu perihal sedikitnya hasil bumi yang ia peroleh. Yang lain lagi mengadu perihal sulitnya mendapat keturunan. Dan yang lainnya mengadu perihal kefakirannya. Kepada semua orang ini Imam Hasan menganjurkan untuk memperbanyak beristighfar kepada Allah. Ia ditanya, “Orang-orang datang kepadamu dengan berbagai hajat, mengapa engkau perintahkan mereka semua untuk beristighfar?” Imam Hasan al-Bashri menjawabnya dengan membaca ayat di atas.
Demikianlah beberapa ibroh atau fadhilah dari mengucapkan atau mengistiqomahkan untuk senantiasa beristigfar pada Allah.
Yogyakarta, 08 Maret 2019. InsyaAllah akan disampaikan pada khutbah jumat, di Masjid Al Amin Godekan, Tamantirto Kasihan Bantul.
Referensi:
- Agar Doa Didengar Allah SWT. Dialog Jumat Republika, 30 Januari 2019.
- Mahbub Junaidi. 2016. Manaqib Imam Ahmad: Kisah Tukang Roti Pendawam Istighfar.
- Tafsir Al-Munir, Wahbah Az-Zuhaili dan kitab tafsir lainnya. Belajar dari Kisah Nabi Nuh: Manfaat Istighfar.
- Muhammad Abduh Tuasikal. 2013. Perintah Memperbanyak Istighfar.
- Aminudin. 2015. Tribunnews.com. 7 Kedahsyatan dan Manfaat Membaca Istighfar
- Images: Banjarmasin Post, hidayatullah.com