Fiqh Shalat 4 (Empat) Madzhab

Oleh: Heri Akhmadi, M.A.
(Alumni Ponpes MWI Karangduwur Petanahan Kebumen)

Tulisan saya mengenai “Fiqh Sholat 4 (Empat) Madzhab” ini saya buat bukan karena saya sudah menjadi ahli fiqh atau ustadz, meski saya pernah enam tahun “mondok” di Ponpes MWI Karangduwur Petanahan Kebumen. Tapi tulisan ini saya dedikasikan justeru yang pertama untuk diri saya sendiri. Karena saya ingat apa kata guru saya dulu waktu “mondok“, bahwa dalam hal ibadah kita seharusnya tidak selalu “taqlid” (mengikuti tanpa tahu dasarnya) pada seorang guru/ustadz atau kyai, karena taqlid itu hanya kepada Rasul. SAW. Tetapi seharusnya “ittiba”, yaitu mengikuti dengan memahami dalil/dasarnya.

Untuk itu, tulisan tentang “Fiqh Sholat 4 Madzhab” ini adalah bagian dari upaya kecil saya untuk keluar dari zona taqlid menuju zona ittiba‘. Semoga upaya kecil ini dapat menjadi awal dari saya untuk lebih memahami dasar saya dalam beribadah. Dan tentu seiring waktu insyaAllah akan diupdate baik dalam kajiannya maupun sumbernya untuk memperkaya dalam memahami hal yang sangat penting bagi seorang muslim yaitu sholat. Banyak yang masih kurang tentunya karena keterbatasan ilmu dan referansi saya. Masukan dari teman-teman pembaca dan para ustadz atau kyai tentu saya sangat harapkan dengan tangan terbuka. Demikian, selamat membaca semoga bermanfaat.

Pengantar

Dakwah yang hanya berpegang kepada satu pendapat ulama, tanpa memberi ruang bagi pendapat ulama lain, akan melahirkan jamaah yang bersikap fanatik dengan klaim kebenaran mutlak atas pendapatnya, dan langsung menganggap bid’ah serta sesat pemikiran ulama yang tidak sehaluan dengan pikirannya. Terkadang, dengan dalih berpegang kepada hadits sahih, mereka berani memvonis pendapat yang lain itu tidak mengikut sunnah Nabi. Padahal, penilaian tentang sahih atau lemahnya (dha’if) sebuah hadits itu tidak terlepas dari perbedaan metodologi penilaian yang digunakan para ulama. Hadits yang lemah menurut satu ulama, bisa saja sahih menurut penilaian ulama yang lain. Diantaranya dalam praktek sholat.

Shalat merupakan rukun kedua dari lima rukun Islam. Umat Islam sepakat bahwa menjalankan ibadah shalat 5 waktu (subuh, dzuhur, ashar, maghrib, dan isya’) adalah kewajiban. Tapi ternyata banyak perbedaan pada teknis pelaksanaan dari menjalankan ibadah shalat itu, meskipun hukumnya sama-sama wajib.

Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban shalat wajib lima waktu atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena shalat termasuk salah satu rukun Islam. Namun para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan meski ia meyakini bahwa shalat itu wajib. Imam Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat harus dibunuh, namun Imam Hanafi berpendapat bahwa ia harus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia melaksanakan shalat (Mughniyah; Fikih 4 Madzhab 2001).

Profil Singkat Imam 4 (empat) Madzhab

Berbicara fikih tentu banyak sekali pendapat, tidak hanya dari pendapat 4 madzhab. Namun karena 4 madzhab ini yang relatif banyak di kenal hingga sekarang (karena pengikutnya masih eksis), khususnya di Indonesia, maka yang menjadi fokus tulisan ini dengan tanpa mengecilkan atau mengesampingkan pendapat madzhab yang lain.

Oia sebelum berbicara lebih jauh tentang pendapat Imam 4 (empat) ini, mari kita mengenal sedikit profil dari Imam 4 Madzhab ini, diurut berdasarkan tahun kelahirannya:

  1. Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi, 80-150 Hijriah /699-767 Masehi, Usia 70 tahun)
    Imam Abu Hanifah mempunyai nama asli Nu’man bin Tsabit bin Zutha adalah seorang ulama besar yang merupakan cikal bakal mazhab Hanafi. Ia termasuk imam mazhab yang paling “senior” di antara tiga mazhab masyhur lainnya (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Beliau lahir di Kufah, Irak pada tahun 80 H bertepatan dengan tahun 699 M, dan wafat di Baghdad pada 150 H atau tahun 767 M (Hidayat, 2021).
  2. Imam Malik (Madzhab Maliki, 93-179 Hijriah/711-795 Masehi, Usia 84 tahun)
    Imam Malik bin Anas, dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H. Beliau berasal dari kabilah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majelis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil pula beliau telah berhasil menghafal Al-Quran (Darunnajah, 2019) (Wikipedia).
  3. Imam Syafi’i (Madzhab Syafi’i, 150-204 Hijriah /767-820 Masehi, Usia 54 tahun)
    Imam Syafi’i atau dengan nama lainnya Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, merupakan keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib. Beliau dilahirkan di Ghuzzah, sebuah wilayah di dalam negeri Syria, pada tahun 150 H, bersamaan dengan tahun wafatnya Abu Hanifah. Kemudian beliau dibesarkan oleh ibundanya di kota Makkah, disanalah awal mula beliau berguru pada Muslim ibn Khalid Az-Zani, seorang mufti Makkah. Pada usia 9 tahun, beliau telah hafal Al-Qur’an, kemudian beliau memepelajari lughat, syi’ir, hadits, fiqh dan Al-Qur’an (Unida, 2021) (Wikipedia)
  4. Imam Ahmad bin Hambal (Madzhab Hambali, 164-241 Hijriah /780-855 Masehi, Usia 75 tahun)
    Imam Ahmad atau nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan al-Syabaniy. Beliau lahir di Baghdad, Irak, pada bulan Rabiul Awal tahun 164 Hijriah atau 780 masehi. Ahmad bin Hanbal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi. Ibunya bernama Syarifah Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadan bin Hindun al-Syaibaniy. Ahmad bin Hanbal berasal dari keturunan Bani Syaiban, salah satu kabilah yang berdomisili di semenanjung Arab (Almanar, 2020) (Wikipedia)
Madhhab_Map2a

Gambaran Perkiraan Sebaran Pengikut Madzhab Dalam Islam (Sumber: Wikipedia)

Pendapat Imam 4 (empat) Madzhab Dalam Pelaksanaan Sholat

Berikut ini pendapat 4 Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) terkait dengan pelaksanaan sholat. Saya rinci pada rukun-rukun dan fardhu-fardhu shalatnya:

1. NIAT

  • Semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta (Mughniyah; 2001). Ibnu Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali.

2. TAKBIRATUL IHRAM

  • Shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw :“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”
  • Maliki dan Hambali :
    kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan katakata lainnya.
  • Hanafi :
    boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
  • Syafi’i :
    boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)

Mengenai bahasa pengucapan takbirotul ikrom

  • Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib,walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab).
  • Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab.
  • Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalamshalat. Kalau bisa melkitakannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” ituharus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.(Mughniyah; 2001)

3. BERDIRI

  • Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi.
  • Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. . Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001)
  • Syafi’i dan Hambali :
    Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.
  • Syafi’i dan Hambali: shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melkitakan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.
  • Maliki :
    bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan mengqadha’-nya. (Mughniyah; 2001)

4. Membaca AL-FATIHAH

  • Hanafi :
    membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari AlQuran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 : (Mughniyah; 2001). ”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
    Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
  • Syafi’i :
    membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pada sholat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
  • Maliki :
    membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama.
    Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
  • Hambali :
    wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat AlQuran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring.
    Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar.
  • Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”

5. RUKU’

  • Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak.
  • Hanafi :
    yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah. Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak
    bergerak) ketika ruku’.
  • Syafi’i, Hanafi, dan Maliki :
    tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan :
    Subhaana rabbiyal ’adziim (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”)
  • Hambali :
    membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib.  Kalimatnya menurut Hambali :
    Subhaana rabbiyal ’adziim (”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”)

6. I’TIDAL

  • Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri).
    Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh.
  • Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan : Sami’allahuliman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya”)

7. SUJUD

  • Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilkitakan dua kali pada setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001).
  • Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah.
    Hambali :
    yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan.
  • Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)

8. TAHIYYAT

  • Tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian :
    pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. (Mughniyah; 2001)

Tahiyyat Awal

  • Hambali : tahiyyat pertama itu wajib.
  • Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.

Tahiyyat Akhir

  • Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. Kalimat (lafadz) tahiyyat :
    Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
    Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera
    ’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
    Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
    Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
    Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
    Asyhadu anlaa ilaaha illallah
    Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
    Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
    Dan kita bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
  • Maliki ;
    Hukumnya hanya sunnah, bukan wajib. Kalimat (lafadz) tahiyyat :
    Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
    Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah
    Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
    Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
    Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
    Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
    Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
    Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya
    Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
    Dan kita bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
  • Syafi’i :
    Hukumnya wajib. Kalimat (lafadz) tahiyyat :
    Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
    Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah
    Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
    Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
    Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
    Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
    Asyhadu anlaa ilaaha illallah
    Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
    Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
    Dan kita bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
  • Hambali :
    Hukumnya wajib. Kalimat (lafadz) tahiyyat :
    Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
    Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan
    Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
    Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
    Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
    Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
    Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
    Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya
    Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
    Dan kita bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
    Allahumma sholli ’alaa muhammad
    Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad

9. Mengucapkan SALAM

  • Imam empat mazhab sepakat mengenai kalimatnya, kalimatnya sama yaitu :
    Assalaamu’alaikum warahmatullaah
    Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian”.
  • Syafi’i, Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah wajib.
  • Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
    Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib.

10. TERTIB

  • Diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan daru sujud, begitu seterusnya.
  • Berturut-turut
    Diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf.

Demikian sementara tulisan mengenai Fikih Sholat 4 (Empat) Madzhab. Semoga bisa menjadikan kita semakin paham akan betapa beragamnya pendapat ulama tentang teknis pelaksanaan sholat itu. Dan oleh karenanya bisa menjadikan kita lebih memahami jika tentu ada perbedaan di kalangan umat Islam. Dan yang lebih penting juga semakin memahami pilihan pendapat mana yang akan kita anut dengan tanpa mengesampingkan pilihan pendapat orang lain.

Jogja, 29 April 2016.

Daftar Pustaka:

8 comments

  1. fandi · · Reply

    Mencerahkan
    jazzakallahu khoiron

    Like

    1. wa’iyyaakum…terima kasih mas Fandi..

      Like

  2. assalamualaikum, terimakasih mas atas ilmunya. sangat membantu saya dalam menyelesaikan tugas kuliah. sekali lagi terimakasih.

    Like

    1. wa’alaikumsalam warahmatullah…Alhamdulillaah, semoga menjadi berkah ilmunya. Salam kenal mba Nunu..

      Like

  3. assalamu’alaikum pak heri
    saya mau tanya, kalo bacaan iftitah menurut 4 mazhab seperti apa?

    Like

    1. Wa’alaikumsalam warahmatullah…terima kasih untuk pertanyaannya, usul yang bagus. InsyaAllah nanti ditambahkan mengenai bacaan iftitah dari 4 madzhab.

      Like

  4. […] Sumber tulisan: https://heriakhmadi.com/2016/04/29/fiqh-shalat-4-madzhab/. […]

    Like

Leave a comment