Mengenal Kultur dan Karakter Orang Thailand, Pelajaran dari #ThailandCaveRescue

Oleh: Heri Akhmadi, M.A.

Kisah heroik misi penyelamatan 12 anak Tim Sepakbola Thailand dan seorang pelatihnya beberapa waktu lalu masih menjadi pembicaraaan di berbagai media di dunia hingga saat ini. Sebagaimana dikutip dari BBC NEWS dalam salah satu artikelnya berjudul “Thailand cave: The successfull search for lost boys” disebutkan bahwa mereka terjebak selama 9 hari di dalam gua sejak mereka masuk gua Tham Luang di Chiang Rai (salah satu provinsi bagian utara Thailand) pada tanggal 23 Juni 2018 hingga ditemukan pada 2 Juli 2018.

Tham Luang Cave Map, pict. credit bbc.com

Terjebak di dalam gua selama 9 hari, hidup hampir tanpa cahaya dan makanan, sejauh 2 mil atau lebih dari 3 kilometer dari pintu masuk, pada kedalaman 800-1000 meter dari permukaan tanah, tanpa tahu apakah akan ada yang datang menyelamatkan mereka, ini merupakan kejadian yang luar biasa.

Dan, Alhamdulillaah…ajaibnya akhirnya mereka ditemukan dalam keadaan selamat setelah 9 hari dalam kegelapan, lengkap dengan ke 13 orang itu masih hidup. Hidup dengan kondisi seperti itu tentu bukan perkara mudah, memelihara perasaan, mengelola kepanikan dan keegoisan serta mempertahankan harapan untuk hidup jelas bukan sesuatu yang mudah bahkan bagi orang dewasa sekalipun.

Bagaimana anak-anak Thai ini (usia mereka antara 11-17) dan pelatihnya (usia muda juga, 25 tahun) bisa dengan selamat mempertahankan hidupnya selama 9 hari hidup dalam gua pada kedalaman 1 kilometer di dalam tanah tanpa mungkin ada harapan dan tanpa makanan, menjadi perbincangan banyak kalangan. Bagaimana mengelola kepanikan, bagaimana menjaga kekompakan 13 orang agar tetap bersama-sama jelas bukan perkara mudah kalau bukan mustahil. Banyak analisis tentang hal ini, misalnya disebutkan bahwa sang pelatih mengajari mereka meditasi selama disana. Atau hal lainnya yang menjadi alasan survival mereka.

Hal lain yang tak kalah penting adalah bagaimana respon orang tua mereka yang tak menyalahkan sang pelatih karena “membawa” anak-anak mereka jalan-jalan ke gua yang pada akhirnya mereka hampir saja membuat mereka kehilangan buah hatinya. Demikian juga bagaimana rakyat Thailand bahu-membahu membantu dalam proses penyelamatan (tukang pompa, pemasok makanan, dan apa saja) tanpa dibayar. Dan jelas tentu pemerintah yang mengeluarkan apa saja untuk menyelamatkan mereka. Tentu tanpa mengecualikan sumbangsih banyak pihak dari seluruh dunia (penyelam, pompa dll) dalam mission almost impossible ini.

Itu semua (sikap 12 anak dan pelatihnya, sikap orang tua, sikap masyarakat dan pemerintah Thai), menurut saya tidak bisa dipisahkan dari kultur dan karakter orang Thai sendiri. Hal ini kalau boleh saya mengajukan hipothesis untuk menjawab bagaimana mereka (orang Thai umumnya) bersikap dan bertindak tidak bisa dilepaskan dari kultur (budaya) dan karakter orang Thailand pada umumnya.

Tulisan ini akan mengupas apa saja kultur menonjol masyarakat Thailand yang pada akhirnya membentuk karakter dalam perilaku meraka. Karakter ini menjadi penting saat kita menghadapi saat-saat sulit atau dalam kondisi terjebak. Pada saat itulah karakter asli seseorang akan muncul, mana yang egois, mana yang pemarah dan lainnya. Berikut ini beberapa kultur masyarakat Thailand yang saya rasakan berdasarkan pengalaman saya beberapa tahun hidup di sana.

Pertama, Kultur Menghormati Orang Lain

Secara umum orang Thai, seperti umumnya “orang timur” sangat ramah pada siapa pun. Orang Thai saat bertemu orang lain baik yang sudah maupun baru dikenal akan mengucapkan salam (ucapannya: Sa Wat Dii Krab/Kaa) sambil menghormat dan membungkukkan badannya. Perilaku ini adalah bagian dari kultur umumnya orang Thai menghormati orang lain.Ā  Dalam istilah Thai ini disebut dengan “wai” (ą¹„ąø«ąø§ą¹‰), yaitu cara unik orang Thai dalam menyambut dan menghormati orang lain.

Mahasiswa menghormat ke dosen…pict credit to pinterest.com

Wai ini bentuknya seperti orang sunda saat memberikan salam, yaitu dengan menyatukan kedua telapak tangan dan diletakkan di depan dada atau wajah. Pada prinsipnya “wai” ini adalah bentuk penghormatan seorang dengan “status sosial” lebih rendah (inferior) kepada orang dengan status sosial lebih tinggi (superior). Status sosial ini bukan dalam arti seperti yang kita pahami, tetapi status sosial dalam kultur masyarakat Thailand. Adapun urutan status sosial (dalam konteks penghormatan) pada masyarakat Thailand adalah sebagai berikut:

  1. Raja, raja bagi masyarakat Thai merupakan wakil Budha di dunia. Bahkan bisa dikatakan raja adalah manusia setengah dewa. Orang Thai sangat menghormati sekali rajanya dan juga keluarga raja. Mereka tidak hanya menghormati karena kekuasaannya dalam konteks politik, tetapi juga “kekuasaan” dalam konteks yang lebih luas. Membicarakan tentang raja (hal negatif) adalah hal yang terlarang secara kultur maupun hukum. Oleh karena itu sangat dihindari bagi orang asing terkait hal ini. Dalam konteks penghormatan terhadap raja, orang Thai akan duduk atau bahkan sujud di lantai/tanah sebagai bentuk penghormatannya (kecuali diminta berdiri).
  2. Biksu/Monk, setelah raja, orang yang paling dihormati adalah biksu. Mereka (biksu) bahkan mempunyai previlege (keistimewaan) tersendiri, seperti di ruang publik. Misalnya di kereta atau bus, biksu mempunya seat/kursi khusus seperti priority seat untuk orang hamil/anak2. Demikian juga di kantor-kantor seperti imigrasi, mereka mempunyai tempat pelayanan khusus dan tidak ikut antrian masyarakat pada umumnya.
  3. Guru/Dosen, guru dan dosen atau di masyarakat Thai disebut dengan “Ajarn” mempunyai posisi yang dihormati di masyarakat. Mereka mempunyai posisi yang spesial. Tidak hanya siswa/mahasiswa yang menghormati guru atau dosennya, bahkan masyarakat umum pun melihat posisi guru dan dosen seolah mereka juga muridnya. Ini barangkali salah satu rahasia bagaimana anak-anak gua yang terjebak itu bisa dikordinir dengan baik, karena menghormati arahan gurunya.
  4. Orang Tua anak menghormati ke ayah dan ibunya
  5. Orang yang lebih tua, anak-anak harus menghormati kepada yang lebih tua.

Oleh karena “status sosial” tersebut di atas, berkaitan dengan cara memberikan “wai” pun pada dasarnya berbeda. Secara detail posisi telapak tangan berbeda tergantung pada siapa penghormatan ini diberikan. Semakin tinggi posisi “status sosialnya” akan semakin membungkuk badannya, bahkan sampai sujud di tanah (misal kepada raja), dan semakin ke atas posisi tangannya.

Kedua, Budaya Antri

Kultur atau budaya berikutnya yang saya dapatkan di Thailand adalah budaya antri. Saya pernah punya cerita khusus mengenai hal ini. Sekitar akhir tahun 2013 saya ada acara bersama teman-teman Junior Indonesia-Thai Chamber and Commerce (INTICC, organisasi seperti KADIN kerjasama Indonesi&Thailand) di daerah Huai Kwang, daerah utara Bangkok. Karana saya tinggal di daerah Phayathai, Bangkok Tengah, saya menggunakan MRT (kereta bawah tanah) agar tidak macet sampai sana. Acaranya sore, saya berangkat dari apartemen sekitar pukul setengah tiga.

Ojek Motor di Bangkok. Pict by migrationology.com

Perjalanan sekitar 20 menit, cukup cepat karena kereta bawah tanah tentu tidak macet. Sampai di stasiun MRT Huai Kwang saya keluar (ke atas) dan cari taksi karena cukup jauh kalau jalan kaki. Tidak lama setelah dapat taksi akhirnya kami meluncur ke lokasi. Dalam perjalanan kami melewati samping gedung bertingkat, semacam perkantoran dan juga mall. Karena jam pulang kerja, perjalanan taksi agak lambat. Di samping gedung itu saya melihat beberapa orang pekerja kantoran sedang antri bejejer sambil berdiri menunggu seuatu yang saya tidak tahu. Antriannya cukup panjang, sekitar 10 orang. Beberapa saat saya belum ngeh mereka sedang antri apa, baru sesaat setelah ada orang naik motor dengan rompi oranye datang menghampiri antrian tersebut saya paham apa yang meraka tunggu. Ternyata mereka sedang menanti ojek…hehe (ojek di Thailand terregistrasi, mereka mempunyai seragam oranye bertuliskan daerah pangkalannya, dan motor plat kuning, khas angkutan umum). Melihat antrian orang mau naik bus di halte, atau naik kereta layang/bawah tanah (BTS/MRT) itu sudah biasa bagi saya. Namun bahkan untuk dapat ojek pun orang Thai akan berantri ria…luar biasa ya hehe.

Bahkan ada cerita yang agak lucu juga mengenai “budaya antri” ini yaitu pengalaman saya di kantor imigrasi Bangkok di Chaeng Wattana. Kantor imigrasi Chaeng Wattana adalah tempat yang tidak asing bagi mahasiswa Indonesia di Thailang, khususnya yang tinggal di Bangkok. Karena hampir pasti tiap 6 bulan sekali harus ke sini untuk memperpanjang visa. Demikian juga bagi semua orang asing (atau kalau menurut imigrasi disebut “alien”, keren kan…hehe).

Ceritanya adalah, bahwa biasanya saat mengurus visa kita berangkat pagi sekali agar sehari bisa selasai karena antriannya banyak sekali. Bayangkan saja pada tahun 2016 dan 2017 Bangkok dinobatkan oleh majalah bisnis FORBES sebagai kota paling dikunjungi turis asing se dunia, mengalahkan London, Paris, Dubai atau Singapura. Ada 20 jutaan turis tiap tahun ke Bangkok dan ribuan orang asing yang tinggal menetap disini. Bisa dibayangkan ramainya kantor imigrasi tiap hari.

Kembali ke cerita antri di kantor imigrasi Chaeng Wattana, kantor ini baru buka pada pukul 7.30 pagi. Namun biasanya para pemohoh visa sudah datang lebih pagi dari jadwal buka kantornya agar sehari bisa selesai ngurusnya. Nah, saya pertama kali ke sini sampai di kantor sekitar pukul 6.30. Setelah masuk gerbang utamaĀ dan pemeriksaan keamanan (gedungnya besar, di dalamnya ada beberapa kantor kementrian dan lembaga pemerintah), karena saya melihat orang pada antri (termasuk para bule-bule) saya pun reflek ikutan antri di depan pintu. Antriannya mengular, sampai hampir di luar gedung. Padahal setelah beberapa kali kesana, dan juga pengalaman teman senior saya di Thailand, sebenarnya tidak perlu antri di situ. Karana itu hanya buka gerbang kantor imigrasi saja, belum antrian untuk ambil formulir atau ke pelayanan visanya. Jadi, lucu juga kadang kalau ingat pengalaman itu. Jadi berasa culun sekali ikutan antri bahkan untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu antri, hanya karena budaya disini jadi mengikuti…hehehe

Ketiga,Keramahan dan Kedermawanan

Tentang keramahan dan kedermawanan saya punya cerita sendiri. Pada dasarnya ini cerita tentang istri saya. Kebetulah istri saya kuliah juga di Thailand, tepatnya di Mahidol University. Karena dia masuk kuliah satu semester duluan dibanding saya, pada saat awal ke Thailand saya sempat mengantarnya. Dari sinilah cerita ini bermula.

Ceritanya adalah saat diundang makan siang (lunch) untuk kenalan dengan Ajarn atau dosen pembimbingnya. Kami diundang makan siang di salah satu restoran di Bangkok (yang ukuran saya sebagai mahasiswa cukup mewah). Jadi semacam welcome party dari dosen untuk mahasiswanya. Saya sendiri tak menyangka dan menduga, bagaimana seorang dosen justru malah mentraktir mahasiswanya. Ini kan namanya rejeki anak sholeh…hehe

Itu cerita pertama tentang keramahan dan kedermawanan orang Thailand. Cerita lainnya yang hampir serupa juga dialami oleh senior saya satu kampus, dimana saat dia wisuda bersama keluarganya dia disediakan akomodasi (hotel, mobil) selama beberapa hari oleh dosen pembimbingnya.

Suasana di Kereta di Bangkok

Kedua cerita itu tentu tidak bisa mengeneralisir karakter kedermawanan keseluruhan orang Thailand. Itu mungkin kasuistik saja, dan hanya sebagai contoh. Namun demikian, hal lain yang mungkin bisa jadi bukti secara umum dari karakter keramahan dan kedermawanan bisa dilihat di angkutan umum (bis, kereta). Saya bersama istri beberapa kali mengalaminya sendiri. Saat kami naik bus atau kereta, orang akan dengan mudah mempersilahkan tempat duduknya kepada perempuan atau orang tua dan terlebih yang membawa anak kecil. Ini sebenarnya mungkin sikap yang umum atau bahkan seharusnya, namun di era milenial ini konon hal seperti itu mulai langka di negara kita. Bahkan priority seat di transportasi umum, yang biasanya hanya untuk orang-orang tertentu kadang sudah diduduki orang yang tidak seharusnya.

Terkait tentang keramahan, terkadang saya berfikir bahwa orang Thailand hampir mirip orang Jogja dalam aspek ini. Mereka sangat santun saat ketemu orang lain. Saya sendiri tidak tahu apakah ada hubungannya karena sama-sama wilayah dengan sistem kerajaan dan dibawah pimpinan seorang raja (sultan kalau di Jogja). Wallahu a’lam

Keempat, (hampir) Tak ada klakson di Jalan

Semua yang pernah tinggal di Bangkok pasti tahu hal ini. Ini bukan sekedar cerita tentang tidak adanya suara bising di jalan. Memang benar di Bangkok macetnya hampir sama dengan Jakarta, kesibukan jalannya juga hampir sama ramainya. Hanya saja ada yang membedakan diantara keduanya, yaitu minimnya suara klakson di jalan-jalan Bangkok dan Thailand pada umumnya.

Suasanan Jalanan Bangkok di waktu sore hari (jam sibuk)

Ini tentu bukan karena di sini tidak ada klakson “Telolet” yang populer di Indonesia, namun menurut saya lebih pada karakter driver yang lebih mengedepankan orang lain dan kesabaran di jalannya. Saya sendiri pada awalnya tidak begitu memperhatikan, namun lama kelamaan terasa juga bedanya. Seolah ada keengganan untuk tergesa-gesa meski tentu semua pengin cepat sampainya.

Jadi, persoalan klakson ini menurut saya tidak sekedar bunyi-bunyian untuk di jalanan, tapi juga pada pengendalian emosi dan perasaan. Betapa banyak orang di perempatan lampu merah menyalakan klakson dengan mudah. Padahal tanpa diklakson pun semua pasti akan jalan, atau kadang memang butuh waktu sementara untuk memasukkan perseling baru bisa jalan. Tapi seolah tidak punya pengalaman, main klakson saja.

Kelima, Kejujuran

Berkaitan dengan kejujuran, jujur ini agak sulit diungkapkan. Contoh kecil saja, di Bangkok, utamanya di masjid-masjid Bangkok Alhamdulillaah saya tidak pernah merasa khawatir kehilangan misalnya sandal/sepatu saat naruh di masjid atau tempat umum. Selama dua tahun saya tinggal di sana Alhamdulilaah belum pernah kehilangan sandal/sepatu di masjid atau tempat umum, demikian juga belum pernah mendengan cerita teman yang kehilangan sandal di masjid. Hal ini tentu tanpa mengurangi usaha untuk menjaga barang kita.

Cerita lainnya datang dari teman sesama mahasiswa, suatu ketika ia naik bus kota dan HPnya tertinggal di bus. Segera ia lapor polisi dan menjelaskan terkait kehilangan HPnya tersebut. Alhamdulilaah keesokan harinya HPnya bisa kembali dengan selamat tanpa kurang sedikitpun.

Cerita serupa lainnya bahkan masih baru, akhir tahun kemarin (2017) saya berkesempatan ke Bangkok. Saat mau pulang ke Indonesia, di Bandara kebetulan ketemu kenalan, keluarga mahasiswa yang mau pulang ke Indonesia, seorang Bapak beserta anaknya. Ceritanya, bapak ini ada titipan dari kenalannya orang Jakarta yang sebelumnya ke Bangkok tetapi ketinggalan HP (Iphone) di taksi sewaktu di Bangkok yang ternyata masih utuh ditemukan di taksi yang ditumpangi. Dan Bapak yang saya temui di bandara ini membawa titipan HP orang Jakarta yang tertinggal tersebut.

Keenam, Menghormati Alam

Karakter terakhir yang saya amati dari orang thailand adalah penghormatannya terhadap alam. Masyarakat Thailand sebagai penganut Budha, terbilang sangat taat terhadap ajarannya. Salah satu ajaran Budha yang menurut saya cukup membentuk karaakter meraka adalah tentang KARMA. Intinya siapa yang menabut benih dia akan memanen, menabur angin akan menuai badai dan seterusnya. Yang berbuat baik akan mendapat kebaikan demikian juga sebaliknya.

Ajaran ini melekat dalam diri orang Thailand dan diaplikasikan dalam segala hal. Salah satunya adalah menghormati alam. Kalau anda pernah ke sungai Chao Praya, sungai terbesar yang membelah kota Bangkok, anda akan merasakannya. Salah satunya adalah banyaknya ikan yang ada di sungai. Kalau anda membawa makanan dan dilempar ke pinggir sungai, maka ikan-ikan (kebanyakan yang pernah sy temui sejenis lele/patin/kathing) akan menyerbunya seolah seperti di kolam-kolam ikan peliharaan.

Di salah satu sudut “Lumpini Park”, taman kota Bangkok (tampak di belakang burung bebas berkeliaran)

Terkait dengan ikan ini bahkan saya pernah mendapatkan ada kolam kecil yang berisi ikan hidup dengan tenang di salah satu perempatan di daerah Ratchatewi (sebelah utara stasiun BTS/Sky Train Ratchatewi, 500m arah barat KBRI Bangkok). Kolam ini ada di samping perempatan jalan besar, sebagai bagian dari taman di pinggir jalan. Umumnya ikan sejenis nila. Saat melihatnya, saya sempat mbatin di dalam hati, ini kalau di kota saya ikannya sudah habis dipancing/ditangkap orang…hehe. Tapi disini hidup dengan damai. Bahkan saya pernah melihat orang yang sengaja datang ke kolam kecil ini membawa pakan ikan dan memberinya makan.

Di sungai besar seperti sungai Chao Praya memang ada orang yang memancing, namun lestarinya kehidupan ikan di tengah kota besar metropolitan tentu menjadi hal yang unik tersendiri. Itu salah satunya karena mereka menghargai alam dan kehidupannya. Bahkan anda jangan kaget kalau jalan-jalan di kampus, atau taman kota akan banyak menemui burung-burung seperti perkutut, dan lainnya bebas berkeliaran di sana tanpa ada yang memburu. Saya hampir tidak pernah menemui orang Thailand pemelihara burung (di sangkar) kecuali sedikit disekitar Soi Jet, Petchburi Road, daerah Phaya Thai.

Demikian enam karakter orang Thailand berdasarkan pengalaman saya berinteraksi dengan mereka dan pemahaman saya selama beberapa tahun hidup di sana. Tentu selalu ada noda hitam di kain yang putih. Bagaimanapun itu secara umum yang saya dapatkan. Jelas tidak ada yang sempurna. Semoga bisa jadi pelajaran yang patut jadi contoh bagi kita semua. Wallahu a’lam

References:

  1. BBC.com 2018. Thailand cave: The successful search for lost boys. Accessed from: https://www.bbc.com/news/in-pictures-44681374
  2. Bbc.com. 2018. Thai cave rescue: how the boys were saved. Accessed from: https://www.bbc.com/news/world-asia-44695232.
  3. Mod. 2013. When and how to wai properly. Accessed from: http://learnthaiwithmod.com/2013/08/when-and-how-to-wai-properly/
  4. Ediplomat.com. 2018. Cultural Etiquette: Thailand. Accessed from: http://www.ediplomat.com/np/cultural_etiquette/ce_th.htm
  5. Alexandra Talty. 2017. Bangkok Named Most Popular City for International Tourist 2017. Accessed from: https://www.forbes.com/sites/alexandratalty/2017/09/26/bangkok-named-most-popular-city-for-international-tourists-in-2017/#6ed2f2e925a2
  6. Feature image Wai, Pict credit by mahidol.ac.th

9 comments

  1. […] saya tulis di salah satu tulisan saya tentang “Mengenal Kultur dan Karakter Orang Thailand”, dosen mempunyai posisi yang tinggi dalam penghormatan bagi masyarakat Thailand. Dosen dan guru, […]

    Like

  2. […] [Baca: Mengenal Kultur dan Karakter Orang Thailand] […]

    Like

  3. [ā€¦] ā€œKaa dan Krab/Kabā€ Sebagaimana pernah saya tulis dalam artikel saya tentang ā€œKultur dan Karakter Orang Thailandā€, salah satu karakter yang terkenal adalah kesopanan dan keramahan mereka. Hal ini pun terlihat [ā€¦]

    Like

  4. lilis D. hadaliah · · Reply

    Terimakasih banyak. sangat senang membacanya. saya mendapat informasi yang menakjubkan. terutama tentang sikap orang Thailand dalam menjaga lingkungan.

    Like

    1. Alhamdulillah…senang kalau bermanfaat

      Like

  5. Nailyls · · Reply

    Suka sekali dengan tulisannya šŸ™‚

    Liked by 1 person

    1. Terima kasih…semoga bermanfaat šŸ™‚

      Like

  6. menarik mas dengan pengalamanya…. I like that a lot

    Like

    1. Thanks Mas Eko…terima kasih sudah mampir di sini..

      Like

Leave a reply to eko Cancel reply