Mahasiswa S2 Serasa Anak TK

20150503_094823 copy

Di Depan Mahachulalongkorn Hall, Kompleks Auditorium Chulalongkorn University

Alhamdulillah, setelah sekian lama akhirnya bisa kembali menengok blog ini. Banyak sebenarnya tulisan dan gagasan ataupun ide yang ingin saya sampaikan di blog ini, tapi berbagai alasan rupanya membuat itu belum kesampaian. Kalo pun akhirnya, tertulis hanya mengendap di laptop saja. Tulisan saya dengan judul “Mahasiswa S2 Serasa Anak TK” ini sebenarnya juga bukan tulisan baru, tulisan ini saya buat sekitar bulan Maret 2015 lalu untuk PPI Thailand/PERMITHA (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Thailand) sebagai salah satu tulisan yang Alhamdulillah sudah dimuat/dicetak dalam sebuah buku berjudul “Merah Putih di Negeri Gajah Putih” (sudah saya tuliskan resensi bukunya di blog ini ).

Baiklah pembaca, inilah tulisan lengkapnya sesuai dengan judul di atas “Mahasiswa S2 Serasa Anak TK”. Selamat membaca…

Tahun 2013 adalah tahun yang istimewa bagi saya sekeluarga, selain karena saya Alhamdulillah diterima untuk kuliah S2 (master) dengan beasiswa di Chula (Chulalongkorn University, Bangkok Thailand), juga karena di tahun inilah Allah telah melengkapi kehidupan keluarga saya. Yaitu dengan hadirnya seorang buah hati. Yah, satu hal yang paling diharapkan seorang yang sudah berkeluarga adalah seorang putra. Terasa “lengkap” sudah mahligai rumah tangga.

Tepatnya pada bulan Juni tahun 2013, lahirlah anak saya yang pertama. Karena saya dan istri sama-sama kuliah di Thailand (Bangkok), kami memutuskan untuk melahirkan anak kami yang pertama di sini (tentu istri yang melahirkan, bukan saya…hehe). Dan karena istri saya kuliah di Mahidol University, maka kami memutuskan proses kelahiran anak kami yang pertama ini di Ramathibodi Hospital, atau tepatnya Faculty of Medecine Ramathibodi Hospital Mahidol University, rumah sakit pendidikan dari Fakultas Kedokteran Mahidol.

Alasannya simple saja, selain karena alasan teknis yaitu dekat dengan tempat tinggal kami di District Ratchatewi, juga karena istri saya seorang mahasiswi Mahidol sehingga tentu (harapan kami) bisa mendapat “harga mahasiswa”, bukan foreigner patient, pasien orang asing yang tariff pelayanannya bisa berkali lipat tariff normal. Yah alasan ekonomis (maklum mahasiswa…hehe).

Tentu disini saya tidak akan cerita tentang proses kelahiran anak saya yang pertama, bukan disini tentunya. Tapi hal lain yang menyertainya yang saya rasa perlu saya share kepada teman-teman pembaca lainnya. Oke saya lanjutkan ya ceritanya. Proses interaksi kami dengan Ramathibodi Hospital_lah tepatnya inti ceritanya. Ramathibodi Hospital adalah rumah sakit pendidikan milik pemerintah Thailand, dalam hal ini Fakultas Kedokteran Mahidol University. Merupakan salah satu rumah sakit rujukan nasional di Thailand.

Ramathibodi

Gambar Tampak Depan Ramathibodi Hospital (Gedung Lama)

Pertama kali kami berinteraksi dengan rumah sakit pemerintah ini adalah saat pemeriksaan kehamilan istri. Seperti layaknya pasien pertama, tentu kami melakukan pendaftaran. Dari sinilah cerita ini bermula. Pertama kali kami masuk rumah sakit ini tentu mencari loket pendaftaran pasien. Karena belum pernah kesini sebelumnya maka kami menanyakan ke petugas sekuriti yang berjaga, sayangnya “kebetulan” orang yang kami tanya itu tidak bisa bicara dengan bahasa Inggris, dan repotnya kami juga tidak bisa bahasa Thai, “klop” dah bagaikan dua orang asing yang bertemu tapi tidak bisa berkomunikasi sama sekali.

Akhirnya dengan “bahasa tarzan” sederhana kami mencoba berkomunikasi, dia meminta kami untuk menuju ke suatu lokasi agak di bagian dalam rumah sakit. Sambil menunjukkan arah kanan lalu ke kiri dan selanjutnya (Alhamdulillah kalo belok kanan, belok kiri sudah tahu lah bahasa Thai_nya, bahasa standar survival di Thailand…hehe).

Hingga akhirnya kami menuju ke tempat yang ditunjukkan, dengan kira-kira tentunya. Masuk dari pintu timur di depan Jalan Rama VI, lalu belok kiri sekitar 15 meter. Dan Alhamdulillah, ini kayaknya ruangannya karena kami melihat banyak ruangan yang ada loketnya dan didepannya berderet tempat duduk untuk menunggu. Namun subhanallah, dari sederet ruangan itu ternyata tidak ada yang tertulis bahasa Inggrisnya. Lagi dech kami bagaikan masuk ke “rimba belantara” di tengah kota. Yang mana loket yang kami cari kami tidak tahu, karena semua tertulis dalam bahasa Thai.

Kami mencoba menanyakan ke salah satu loket, sayangnya petugas yang ditanya juga kurang bisa berbahasa Inggris. Sehingga saat kami menjelaskan kedatangan kami untuk pertama kali, dan apa prosedur yang harus dilakukan oleh kami sebagai pasien pertama di rumah sakit ini kayaknya dia tidak memahami maksudnya. Dia pun meminta kami menunggu sebentar untuk dicarikan petugas yang bisa berbahasa Inggris dengan baik sehingga bisa berkomunikasi dengan kami.

OPG Pediatric Rama.jpg

OPD Pediatrics, Poli Anak di Ramathibodi Hospital (Gedung Lama)

Alhamdulillah akhirnya kami dipertemukan dengan petugas yang cukup “nyambung” bahasa Inggrisnya sehingga bisa memahami maksud kedatangan kami untuk mendaftar sebagai pasien di sini. Dengan aksen “Thai English” yang khas dia menjelaskan kepada kami tentang segala prosedur dan hal-ikhwal urusan administrasinya. Hingga akhirnya kami (istri saya maksudnya) bisa mendaftar menjadi pasien resmi rumah sakit pendidikan ini.

Urusan pendaftaran selesai, namun ternyata “ujian” itu belum berakhir sampai disini. Selanjutnya kami menuju ke ruang pemeriksaan. Kembali lagi semua disini kecuali toilet yang ada gambar penunnjuknya, ditulis dalam huruf thai. Alhamdulillah ada beberapa petugas yang bisa berbahasa Inggris sehingga cukup membantu. Dan disini juga ada ceritanya karena saat kami menunggu giliran pemeriksaan, ternyata panggilan nomor antrian dalam bahasa thai juga…weleh-weleh…Alhamdulillah kalo tentang hitungan (1, 2, 3, dst) kami lumayan mengetahui bahasa Thai_nya, jadi dihapal saja nomor antriannya.

Pemeriksaan selesai, tiba saatnya kami menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Kami diminta ke satu komplek bangunan di rumah sakit ini dimana disitu terdapat beberapa loket pembayaran. Dan subhanallah, “de javu” rupanya. Kami kemballi bertemu sederet ruangan yang semuanya bertuliskan huruf Thai “keriting” seperti aksara jawa ini. Mana loket yang harus kami tuju kami pun tidak tahu, belum lagi billing kertas yang kami bawa juga tertulis dalam huruf Thai semua, klop dah. Kami iseng aja menanyakan ke petugasnya dengan menyodorkan billing tersebut, dan ternyata kami salah masuk…hehe. Namun Alhamdulillah petugas itu menunjukkan loket yang seharusnya kami tuju. Hingga akhirnya kami bayar dan selesai semuanya.

Dalam perjalanan pulang kami merenung, ternyata kami yang “sekelas” mahasiswa S2 luar negeri saja merasa bagitu “bodohnya” hari itu. Betapa pentingnya arti bahasa dan tulisan, dan betapa menderitanya orang yang buta huruf dan “bisu bahasa”. Kami hari itu benar-benar merasa lebih bodoh bahkan mungkin dari seorang anak TK karena ketiadaan kemampuan berkomunikasi (dalam bahasa Thai tentunya). Jadi ketika kami melihat sederet huruf Thai yang keriting-keriting itu, atau mendengar percakapan orang Thai dengan bahasa mereka, kami benar-benar merasa lebih bodoh dari pada anak TK. Karena benar-benar buta jadinya. Ibarat kita berjalan di kegelapan malam tanpa cahaya.

Inilah pelajaran penting bagi kami tentunya, tentang arti penting bahasa. Kita belum bicara untuk hal besar seperti misalnya mengenai persiapan memasuki Asean Economic Community (AEC). Atau bagaimana produk Indonesia memasuki pasar Thailand. Namun untuk urusan yang sederhana ini saja, jika bahasa sebagai alat komunikasi ini tidak kita kuasai, maka akan banyak kendala tentunya.

Memang bahasa Inggris adalah standar komunikasi dunia, tapi pengenalan dan penguasaan bahasa lokal adakalanya sangat penting mengingat tidak semua orang sudah lancar bahasa Inggrisnya, atau semua hal ditulis dalam bahasa Internasional. Seperti halnya di Thailand menurut pengalaman saya. itulah mengapa dalam soal bahasa, seorang Mahasiswa S2 Serasa Anak TK. Ini pengalaman sederhana saya yang benar-benar membuka mata saya akan pentingnya bahasa dalam komunikasi baik sekala personal maupun global.

Semoga bermanfaat.

Baan Leena Apartment, 31 March 2015.
Petchburi Soi 7, Bangkok.

Advertisement

One comment

  1. […] Untuk bisa merasakan beratnya ujian orang buta, anda cukup dengan hanya memejamkan mata sebentar saja. Namun untuk bisa merasakan betapa sengsaranya “BUTA HURUF”, anda bisa pergi ke Thailand atau negara lainnya yang bahasa dan hurufnya berbeda dengan yang selama ini kita gunakan sehari-hari. Saya pernah mengalami ini di awal-awal kedatangan di Thailand, terlebih saat itu istri sedang hamil dan harus rutin konsultasi ke dokter di salah satu rumah sakit di Bangkok. Lebih detail ceritanya silakan baca artikel saya yang berjudul “Mahasiswa S2 Serasa Anak TK”. […]

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: