Peran Desa Dalam Mendukung Daya Saing Pertanian Menghadapi Pasar Bebas ASEAN

Oleh: Heri Akhmadi, M.A.

Tulisan dengan judul “Peran Desa Dalam Mendukung Daya Saing Pertanian Menghadapi Pasar Bebas ASEAN” ini merupakan materi yang saya sampaikan pada acara “KIPRAH DESA” yang disiarkan secara Live oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta pada hari Kamis, 7 Oktober 2016 pukul 19.30-20.00. Acara Kiprah Desa merupakan program rutin yang diselenggarakan oleh RRI Yogyakarta dan salah satunya bekerja sama dengan Fakultas Pertanian UMY dimana para dosen yang menjadi narasumbernya.

Pendahuluan:

Tahun 2016 merupakan tahun yang bersejarah bagi negara-negara di Asia Tenggara terutama yang tergabung dalam Association of South East Asian Nation atau terkenal dengan sebutan ASEAN. Tahun ini menjadi penting mengingat inilah – tepatnya 31 Desember 2016 – tahun pertama dimulainya atau mulai berlakunya perjanjian terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community.

Kerjasama negara-negara ASEAN dalam kerangka ASEAN Economic Community pada dasarnya tidak hanya di sektor ekonomi, tapi juga disektor budaya, politik dan keamanan. Namun nuansa ekonomi dari kerjasama ini memang begitu terasa. Dan seperti lazimnya kerjasama ekonomi, umumnya adalah upaya meningkatkan perdagangan dengan menurunkan tarif bersama (bea masuk) atau dikenal dengan pasar bebas. Dan pasar bebas itu selalu mempunyai dua sisi yang harus diimbangkan, yaitu antara kerjasama dan kompetisi.

Tentu saja maksud dari kerjasama ekonomi ASEAN ini baik, yaitu untuk meningkatkan perdagangan diantara negara-negara anggota. Prinsipnya sederhana, yaitu dengan mengurangi atau bahkan menghapus hambatan perdagangan baik hambatan tarif maupun non tarif. Atau dalam tataran praktis dengan menurunkan atau menghapus bea tarif masuk (impor) barang. Dengan turun/hilangnya bea tarif ini diharapkan harga produk akan turun dan pada akhirnya akan meningkatkan volume dana tau nilai perdagangan.

Ibarat mata uang, selalu ada dua sisi dalam setiap kebijakan. Termasuk dengan kebijakan pasar bebas ASEAN dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN. Di satu sisi bermaksud meningkatkan perdagangan namun disisi lain memunculkan kekhawatiran akan semakin derasnya produk-produk impor ke pasar dalam negeri. Atau dengan kata lain akan bersaingnya produk dalam negeri dengan produk negara lain yang mungkin lebih baik secara kualitas dan lebih murah dalam harganya. Terlebih lagi dengan produk-produk pertanian, kekhawatiran ini akan semakin menjadi. Membanjirnya produk-produk pertanian impor sudah menjadi kenyataan bahkan sebelum perjanjian ekonomi ASEAN ini diberlakukan. Dan tentu akan semakin mengkhawatirkan ketika pasar semakin terbuka lebar dalam kerangka ASEAN. Kompetisi, termasuk dalam perdagangan produk pertanian menjadi hal yang terelakkan ketika pasar ASEAN menjadi satu kesatuan dalam kesangka Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Sensus Pertanian yang dilakukan Badan Pusat Statistis (BPS) pada tahun 2013 menyebutkan bahwa, selama periode 2004-2012 ekspor tumbuh sebesar 18,6 persen per tahun sementara laju pertumbuhan impor 16,8 persen per tahun dan neraca perdagangan tumbuh positif dengan laju 1,1 persen per tahun. Ada yang menggembirakan misalnya laju ekspor yang cenderung meningkat dan surplus terhadap impor. Surplus terbesar dari sektor Perkebunan. Sementara defisit dari sektor tanaman pangan (beras, kedele, dan jagung), hortikultura (durian, jeruk) dan peternakan (susu dan daging sapi). (BAPPENAS, 2014)

Laporan BPS juga menyebutkan bahwa sedikitnya ada 29 produk impor pertanian yang meliputi: beras, jagung, kedelai, biji gandum dan mesin, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging sejenis lembu, jenis lembu, daging ayam, garam, mentega, minyak goreng, susu, bawang merah, bawang putih, kelapa, kelapa sawit, lada, teh, kopi, cengkeh, kakao, cabai, cabai kering, cabai awet, tembakau, ubi kayu, kentang. Hal yang menyedihkan adalah bahwa dari 29 produk-produk pertanian yang impor, pada dasarnya sebagian besar bisa dihasilkan di negeri sendiri. Bahkan yang seolah tidak masuk akal adalah impor garam padahal Indonesia notabene sebagai negara maritim dengan garis pantai terpanjang ke-4 di dunia (BPS, 2013)

Desa sebagai entitas sosial, ekonomi dan politik mempunyai peran yang signifikan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN jika diberdayakan. Terlebih kaitannya dengan sector pertanian, desa merupakan basis dan awal dimana pertanian diusahakan. Hampir semua kegiatan pertanian dilakukan di desa. Mayoritas sumber daya pertanian (lahan, tenaga kerja) juga ada di desa. Hal ini berarti desa mempunyai posisi yang strategis dalam bangunan pertanian di Indonesia. Menguatkan peran desa dalam pembangunan pertanian sama halnya membangun pertanian itu sendiri.

Data dari Kementerian Dalam Negeri (Oktober, 2016) menyebutkan bahwa ada sebanyak 74.053 desa di Indonesia. Meski arus urbanisasi terus berlanjut, sebanyak 50,2% penduduk Indonesia ternyata tinggal di desa (Menteri Desa, 2015). Jumlah yang cukup besar dan menggambarkan besarnya potensinya jika dikelola. Jumlah yang cukup besar dan menggambarkan besarnya potensinya jika dikelola.

Fakta lainnya tentang desa adalah bahwa mayoritas penduduk desa adalah petani (60%). Selain itu, dari 28,5 juta penduduk miskin Indonesia (2015), 17,9 juta diantaranya tinggal di desa. Sementara itu, dukungan pemerintah terhada pembangunan desa melalui dana desa yang besar bisa menjadi kekuatan pembangunan dan pertanian. Dana yang mengalir ke desa untuk tahun 2016 saja sebesar sebesar 6% dana transfer daerah dan pada tahun depan (2017) akan menjadi 10% sehingga rata-rata per desa akan menerima lebih dari 1 Milyar rupiah.

 

Peluang dan Ancaman MEA Bagi Pertanian

Pasar bebas asean atau dikenal dengan AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) dan dikuatkan dengan diberlakukannya Asean Economic Community (AEC) atau dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada dasarnya bukanlah satu-satunya perjanjian pasar bebas yang diikuti Indonesia. Sampai tahun 2015 Indonesia setidaknya telah menjadi anggota 6 perjanjian perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN, yaitu: AFTA, ACFTA, AIFTA, AANZFTA, AKFTA dan IJEPA (Heri Akhmadi, 2015).

Beberapa penelitian (Dianiar, 2013), (Heri Akhmadi, 2015) menyatakan bahwa perjanjian perdaganan bebas seperti ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) berefek negatif terhadap export produk pertanian. Efek negative dari ACFTA disebabkan diantarannya karena dengan dibukanya arus perdangan dengan China, arus impor produk pertanian dari China ke Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN, menjadi lebih dominan dibandingkan dengan arus ekspor dari negara ASEAN ke China.

Membanjirnya produk pertanian impor dengan harga yang lebih murah adalah salah satu kekhawatiran dari adanya perjanjian pasar bebas ASEAN. Terlebih khususnya berkaitan dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimana ruang lingkup kerjasamanya cukup luas. Karena dalam kerangka MEA, tidak hanya liberalisasi arus barang dan jasa saja tapi juga tenaga kerja dan juga kerjasama di bidang sosial politik dan keamanan. Artinya hampir seluruh aspek kehidupan diantara negara ASEAN akan beririsan dan bersinggungan, meski tentu harapannya akan positif efeknya. Namun setiap kebijakan tentu akan ada plus-minusnya termasuk di bidang pertanian.

Peran Desa dalam Mendukung Daya Saing Pertanian di Era MEA

Desa sebagai salah satu wilayah kesatuan hukum yang diakui negara tidak lepas dari obyek persaingan pasar bebas, bukan saja terhadap kualitas produk/barang yang dihasilkan desa itu sendiri, tetapi juga sumber daya manusia sebagai pengelola sumber daya alam, budaya dan modal sosial lainnya tentunya akan dihadapkan pada persaingan dengan negara lain (Sutardjo Jo, 2015)

Lain daripada itu, mesa merupakan tempat dimana hampir semua kegiatan pertanian dilakukan dan tentunya mempunyai posisi strategis dalam pembangunan. Tenaga kerja pertanian hampir seluruhnya juga tinggal di desa. Demikian halnya yang berkaitan dengan sosial-budaya pertanian juga berkembang dan terjaga di desa. Oleh karena itu, optimalisasi peran desa menjadi hal penting di era MEA ini. Terutama dalam mendukung daya saing pertanian menghadapi liberalisasi pasar dalam kerangka ASEAN.

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan peran desa ini dalam mendukung daya saing pertanian. Pertama adalah menguatkan organisasi petani. Telah diungkapkan bahwa petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian hampir sebagian besar tinggal dan hidup di desa. Problem pertanian Indonesia adalah hampir sebagian besar petani adalah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar. Data BPS hasil Sensus Pertanian (2013) dari 26,14 juta rumah tangga petani, sebesar 55,33% adalah petani gurem. Sempitnya penguasaan lahan membuat posisi petani kurang kuat mengingat secara matematis usahatani menjadi tidak ekonomis. Untuk itu, petani perlu bersinergi satu sama lain dengan membentuk kelompok/organisasi petani/kelompok tani sehingga posisi tawarnya semakin kuat. Selain itu, dengan berkelompok, petani juga mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengakses program-program pemerintah.

Kedua, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kerjasama seluruh stakeholder pertanian. Petani, pemerintah desa, penyuluh pertanian, dinas terkait dan masyarakat harus bekerja sama dalam membangun pertanian. Tanpa dukungan dari semua pihak, mustahil pertanian bisa efektif dan produktif. Dukungan pemerintah desa ini yang harus digaris-bawahi. Mengingat selama ini program-program desa lebih banyak yang mengarah pada perbaikan infrastruktur saja (pembangunan jalan, dll). Perlu ada aspek pembangunan pertanian yang masuk dalam program dan anggaran pembangunan desa. Dengan dana desa yang besar harapannya pertanian diperhatikan.

Berikutnya yang ketiga adalah penguatan peran pemuda desa dalam kegiatan pertanian. Sudah mafhum belakangan ini akan minimnya minat pemuda untuk terjun di dunian pertanian, bahkan pemuda desa. Padahal pemuda adalah kekuatan pembangunan dan perubahan. Jika para pemuda desa ini bisa dioptimalkan perannya dalam pembangunan pertanian desa insyaAllah masa depan pertanian di desa khususnya tidak terlalu dikhawatirkan. Setidaknya penerus estafet pertanian sudah bisa diharapkan. Pelibatan organisasi pemuda seperti Karang Taruna dalam hal ini mutlak diperlukan.

Langkah berikutnya yang keempat adalah dengan membangun ketahanan pangan desa. Desa sebagai wilayah pertanian sebisa mungkin tidak tergantung kebutuhan pangannya dari luar desanya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan komoditas ungulan desa. Pembangunan komoditas unggulan ini menjadi penting karena tiap desa memiliki keuningan sendiri baik dari aspek geografis, ekologis maupun aspek social ekonominya.

Terakhir yang kelima adalah dengan optimalisasi penggunaan teknologi informasi dan social media untuk mendukung ketiga langkah sebelumnya. Perlu diakui bahwa ketiga hal yang pertama adalah langkah-langkah konvensional dalam pembangunan pertanian, meski pada faktanya tidak banyak dilakukan atau lebih tepatnya terlupakan. Diperlukan sentuhan kekinian untuk mendukungnya yaitu dengan sentuhan teknologi social media. Hal ini, meskipun teknologi informasi dan social media lebih terlihat sebagai konsumsi orang kota, namun dengan semakin terjangkaunya smartphone dan semakin luasnya coverage sinyal telekomunikasi tidak dipungkiri telah membuat masyarakat desa pun bisa mengaksesnya. Smartphone, Facebook, Instagram bukanlah barang aneh bagi orang desa sekalipun terutama generasi mudanya. Oleh karena itu, dengan melibatkan penggunaan teknologi informasi dan social media bukan tidak mungkin dunia pertanian desa pun menjadi semakin menarik khususnya bagi generasi mudanya.

Itulah beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mendukung penguatan dan pembangunan pertanian di desa. Prinsipnya sederhana, jika pertanian desa maju maka kemampuan desa sebagai lumbung pangan dan basis pertanian akan kuat. Jika dasarnya kuat maka meskipun serbuan pasar bebas tidak bisa dielakkan setidaknya akan memiliki kemampuan bertahan yang lebih kuat.

References:

  • BAPPENAS. 2014. Analisis Rumah Tangga, Lahan, Dan Usaha Pertanian di Indonesia: Sensus Pertanian 2013. Direktorat Pangan Dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
  • BPS. 2013. Sensus Pertanian 2013. Jakarta
  • Dianniar, U. 2013. The Impact of Free Trade Agreements on Indonesia’s Agricultural Trade Flows: An Application of the Gravity Model Approach. Thesis, International Institute of Social Studies. The Hague, The Netherlands
  • Heri Akhmadi. 2013. Impact of FTA on Indonesian Agricultural Exports. (Thesis) unpublish. Faculty of Economics Chulalongkorn University, Thailand.
  • Sutardjo Jo. 2015. Tantangan Desa Menuju Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
Advertisement

One comment

  1. I visited multiple web sites however the audio feature for
    audio songs existing at this web site is in fact fabulous.

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: