Oleh: Heri Akhmadi, M.A.
Tulisan saya kali ini mengenai “Mengelola Harta Dalam Kacamata Islam” merupakan materi Khutbah Jumat yang saya sampaikan di Masjid As Syafir KBRI Bangkok yaitu tepatnya pada hari Jumat 08 February 2014. Saya upload di sini semoga bermanfaat. Sebagai catatan, mengingat keterbatasan feature di blog ini, beberapa tulisan arab mungkin hanya terjemahannya saya posting disini.
Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah.
Marilah kita jadikan pertemuan kita di tempat yang mulia ini, di hari yang mulia ini, dan di waktu yang mulia ini, sebagai penumbuh dan penambah iman dan takwa kita kepada Allah Ta’ala. Salah satu bentuk keimanan itu ialah dengan mensyukuri segala kenikmatan yang Allah berikan.
Dan diantara sekian banyak kenikmatan itu adalah kenikmatan kita diberi kesempatan dan kekuatan untuk melangkahkan kaki menyambut seruan Allah pada hari yg mulia ini. Berapa banyak diantara saudara kita yang pada saat ini tidak bisa merasakan seperti yang kita laksanakan, baik karena belum tergugah imannya, sedang dalam perjalanan atau sedang terkena musibah dan bencana sebagaimana menimpa saudara-saudara kita di tanah air. Mulai dari gunung meletus, banjir yang tidak kunjung reda dan bencana lainnya
Kita tentu berdoa dan berharap bahwa pada kesempatan lainnya mereka bisa kembali melaksanakan dan merasakan sebagaimana kita laksanakan pada hari ini.
Hadirin jamaah jumat rakhimakumullah
Bencana dan musibah adalah suatu kepastian, suatu keniscayaan dalam kehidupan. Allah subhanahu wata’ala sudah menggariskan hal ini dalam salah satu firmannya di Al quran yaitu dalam surat Al-Baqarah [2]: ayat 155-156:
“Dan sungguh (Allah mengawali kalimatnya dengan “lam taukid”yang berarti kesungguhan/kepastian dan mengakhiri awal kalimat jg dengan “nun taukid”) Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan (takut akan tidak lulus, takut bos marah, takus deadline tidak tercapai, atau takut ada demo dll), kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji´uun”. (segalanya berasal dari Allah dan segalanya kembali kepada Allah)”
Oleh karena itu, sebagai orang yang beriman tentu kita harus bahwa segala bencana, musibah dan kesusahan itu semua dari Allah. Pasti Allah mengirimnya mempunyai maksud. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia mengambil hikmah darinya.
Rasululah SAW bersabda dalam salah satu hadistnya yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah ra menyapaikan bahwa:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya,’Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.‘ (Qs. al-Mu’minun: 51). Dan Ia berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.‘ (Qs. al-Baqarah: 172). Kemudian, beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut warnanya seperti debu mengulurkan kedua tangannya ke langit sambil berdo’a, ‘Ya Rabb, Ya Rabb, sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang haram, maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?!” (Dikeluarkan oleh Muslim dalam az-Zakah no. 1015 dan at-Tirmidzi dalam Tafsirul Qur’an, no. 2989).
Demikianlah bisa jadi, bencana dan kesusahan yang menimpa kita dikarenakan kita belum benar dalam mengelola rizki atau harta kita, sehingga doa-doa yang kita panjatkan tidak terkabulkan. Bahkan sebaliknya kita diuji dengan beragam kesusahan.
Hadirin jamaah jumat rakhimakumullah
Mengelola harta adalah kewajiban kita semua, karena tanggung jawabnya tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai dia ditanya (diminta pertanggungjawaban) tentang 4 hal : tentang umurnya; kemana dihabiskannya, tentang tubuhnya untuk apa digunakannya , tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang ilmunya; bagaimana dia mengamalkannya .” (HR. at-Tirmidzi, no. 2417, dishahihkan oleh al-Albani dalam as-Shahihah, no. 946).
Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari Kiamat nanti manusia akan diminta pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia (Lihat kitab Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyaadhish Shalihin, 1/479).
Ketika kita berbicara tentang pengelolaan harta maka ada 2 hal yang harus diperhatikan, pertama pengelolaan pendapatan dan kedua pengelolaan pengeluaran. Pendapatan adalah hal yang berkaitan dengan sumber pemasukan baik tentang jumlah yang harus didapat maupun tata cara dalam mendapatkannya. Sementara pengeluaran adalah hal yang berkaitan dengan jumlah yang harus dikeluarkan maupun tentang tempat pengalokasian pengeluaran
Pengelolaan harta yang islami setidaknya harus memenuhi ketentuan ISLAMIC yang mencakup 7 aspek yaitu: Income (Pendapatan), Spending (Pengeluaran dengan mengutamakan skala prioritas dalam pelaksanaannya), Longevity (Kehidupan panjang yang menyangkut kehidupan masa pensiun dan kehidupan akhirat), Assurance (Proteksi terhadap hal yang tidak terduga), Management of debt (Pengelolaan Hutang), Invesment (investasi) dan Cleansing of Wealth (Zakat sebagai sarana pembersihan harta).
Dari sini terlihat bahwa dalam mengelola harta secara islami terdapat 7 akun yang terdiri dari 1 akun pendapatan (income) dan 6 akun pengeluaran yang terdiri dari spending, longevity, assurance, management of debt, investment dan cleansing of wealth.
Pertama berkaitan dengan pendapatan. Prinsip dalam mengelola pendapatan adalah “keberkahan”. Atau barakah. Dalam bahasa Arab, barokah bermakna tetapnya sesuatu, dan bisa juga mempunyai makna bertambah atau berkembangnya sesuatu an-namaa waz ziyaadah (وازيادة النماء)[1].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata keberkahan ini mengandung arti langgengnya kebaikan dan berlipat-lipatnya atau bertambahnya kebaikan. Inilah hakikat barokah”[3]. Kalau dalam terminology ekonomi harta yang mempunyai “nilai tambah” (value added). Karena betapa banyak orang yg hartanya bertambah, tp kemanfaatan buat diri/lingkungannya tidak bertambah. Uangnya banyak tp malah jadi tidak tenang hidupnya. Rumahnya besar laksana istana, tp ia hanya numpang tidur sebentar saja.
Oleh karena itu mendapatkan harta dari sumber pendapatan tidak jelas (ghoror), riba (bunga) dan maysir (untung-untungan atau judi) harus dihindari karena akan menyebabkan pendapatan menjadi tidak halal. Sehingga akan menghilangkan keberkahan.
Selanjutnya, menurut Achmad Ghozali, berkaitan dengan pengeluaran sesuai dengan prinsip yang telah disebutkan, harta berapapun besarnya seharusnya dialokasikan pada 4 hal :
- Pengeluaran berdasarkan HAK ALLAH
Berupa : zakat, infak, sodaqah dan kegiatan social lainnya.
- Pengeluaran berdasarkan HAK ORANG LAIN
Berupa ; hutang, tagihan, kredit, dll.
- Pengeluaran berdasarkan HAK DIRI SENDIRI untuk MASA DEPAN
Berupa ; tabungan, investasi, keperluan cadangan, dll.
- Pengeluaran berdasarkan HAK DIRI SENDIRI untuk MASA SEKARANG
Berupa ; konsumsi rumah tangga, kebutuhan harian dll.
Prinsip pengeluaran dalam pengelolaan harta adalah DAHULUKAN HAK ALLAH lalu HAK ORANG LAIN, kemudian baru hak diri sendiri di masa datang dan terakhir hak diri sendiri di masa kini.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS Sabaa’:39).
Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat[17].
Artinya disini bahwa ketika kita mendapatkan penghasilan, hal yang pertama harus dialokasikan adalah zakat dan infak. Dan kita harus yakin bahwa harta yang keluarkan infaknya tidak akan berkurang, bahkan bertambah.
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya”[18].
Arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta’ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata”[19].
Selanjutnya yang kedua dalam prinsip pengelolaan pengeluaran adalah mendahulukan “hak orang lain” atau HUTANG. Siapa orangnya di dunia ini yang selama hidupnya tidak pernah berhutang? Berbagai alasan tentunya menjadi latarbelakang, mengapa harus berhutang.
Dalam konteks Islam, hutang sangat mendapat perhatian karena tidak hanya mempunyai implikasi di dunia tapi juga di akhirat. Rasulullah SAW bersabda :
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya kecuali hutang.”(Riwayat Muslim)
Oleh karenanya hutang harus segera dibayar sebelum kita meninggal.
Selanjutnya setelah menyelesaikan Hak Allah dan Hak orang lain, baru kemudian dialokasikan untuk diri sendiri. Prinsip dalam hal ini adalah dengan :
RUMUS : Q
artinya
QONA’AH
“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya”[18].
Arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta’ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata”[19].
(cukup dengan sedikit, tak berlebih jika banyak)
Karena yang menentukan cukup atau tidaknya anggaran belanja bukanlah dari banyaknya jumlah anggaran harta yang disediakan, karena berapa pun banyaknya harta yang disediakan untuk pengeluaran, nafsu manusia tidak akan pernah puas dan selalu menuntut lebih.
Khutbah kedua
Hadirin jamaah jumat rakhimakumullah
Dalam khotbah kedua ini khatib ingin kembali menegaskan, bahwa dalam pengelolaan harta kata kuncinya ada 2. Pertama untuk konteks penerimaan, prinsipnya adalah “keberkahan” dan dalam konteks pengeluaran prinsipnya adalah “qona’ah”. (merasa cukup dan puas dengan rezki yang Allah berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya.
Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”[23].
Demikian apa yang dapat khotib sampaikan. Marilah kita berdoa kepada Allah, semoga Allah memberi kekuatan kepada kita untuk dapat mengelola harta kita dengan iman dan takwa. Sehingga dapat memberikan kemanfaatan di dunia dan dapat dipertanggungjawabkan di akhirat.
Bangkok, Jumat 8 Februari 2014
Referensi :
- Achmad Ghozali. Melawan Arus Uang dengan Qona’ah. MQ-Tabloid. No.4 Vol.16 Edisi Agustus 2005. Bandung
- Elvin G Masyasha. Menyiasati Keterbatasan Penghasilan. Harian Kompas. Edisi 15 Mei 2005. Jakarta
- Mu’jam Maqoyisil Lughoh, Ibnu Faris, 1/227-228 dan 1/230. Dinukil dari At Tabaruk, Dr. Nashir bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Al Judai’, Maktabah Ar Rusyd Riyadh, 1411 H, hal. 25-26
- Dr. Nashir Al Judai’ dalam At Tabaruk, hal. 39
- Jalaul Afham fii Fadhlish Sholah ‘ala Muhammad Khoiril Anam, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul ‘Urubah Kuwait, cetakan kedua, 1407, hal. 308